Minggu, 06 Januari 2013

apakah air musta'mal itu ?


AIR
Semua air yang turun dari langit atau yang keluar dari dalam bumi, adalah suci dan mensucikan. Ini didasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta ‘ala :
وأ نز لنا من ا لسماء ماء طهورا
“ Dan Kami menurunkan dari langit air yang amat suci. “ ( QS. Al Furqaan : 48 )

Dan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam  :
هو ا لطهور ماءه ا لحلّ ميتته
“ Ia ( laut itu ) suci airnya serta halal bangkainya. “ ( Shahih : Shahih Ibnu Majah no ; 309, Muwaththa’ Imam Malik hal 26 no 40, Sunan Abu Dawud 1: 152 no : 83, Sunan Tirmidzi 1 : 47 no : 69, Sunan Ibnu Majah 1 : 136:386, dan Sunan Nasa’I 1 : 176 ).
Berkata Al Qurtubi : “ Air yang turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat mensucikan, meskipun  berbeda-beda warna, rasa dan baunya. ( Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 13/29 )

JENIS-JENIS AIR
Para ulama berbeda pendapat tentang jenis-jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci, pendapat tersebut dengan izin Allah diringkas sebagai berikut :
Pertama     :
1.    Air yang suci mensucikan
2.    Air yang Najis
Dianut oleh Madzhad Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadist dan dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Kedua         :
1.    Air yang suci mensucikan
2.    Air yang Najis
3.    Air yang suci tidak mensucikan
Ini pendapat jumhur ulama.

Dari kedua pendapat ini yang insya Allah yang rajah adalah pendapat yang pertama, yang dipegang oleh Syikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Tambih ( peringatan ) :
Air yang suci itu dapat digunakan untuk bersuci meskipun kemasukan atau bercampur dengan benda yang suci selama masih melekat padanya nama air, belum berganti dengan nama yang lain . Dan benda yang mencampurinya itu tidak mendomonasi air tersebut. ( Majmu Fatawa 21/ 25, Al Muhalla ; 1/199, Al Mugni 1/22, Sailul Jarrar, 1/58 )

Hal ini didukung oleh beberapa hadits dibawah ini :
Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sekelompoj wanita yang akan memandikan putrinya, beliau bersabda :

ا غسلنها ثلا ثا أ و خمسا  أو أ كثر من ذ لك إن رأيتن بماء  و سدر , وا 
جعلن في ا للأ خرة  كا فورا أو شيئا من كا فو ر

“ Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu kalau kamu berpendapat begitu dengan air dan daun bidara. Dan pada kali yang terakhir berilah kapur barus atau sedikit kapur barus. “ ( Fathul Bari III : 125 no : 1253 dan Shahih Muslim II: 646 no : 939 )
Abu Sa’id berkata :
قيل يا رسول ا لله أ نتوضأ من بئر بضا عة؟ و هي بئر يلقي فيها ا لحيض ولحوم الكلاب والنتن. فقال : الماء طهورلاينجسه شيء.

“ Ada seorang sahabat yang bertanya Ya Rasulullah, bolehkah kami berwudhu’ dengan ( air ) sumur budha’ah? Yaitu sebuah sumur yang darah haidh, daging anjing, dan barang yang bau busuk dibuang ke dalamnya. “ Maka jawab beliau sholallhu ‘alahi wa sallam, “ Air itu tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun. “ ( HR. Abu Dawud no : 67, Tirmidzi : 66, An Nasa’I : 326, Ahmad : III/11275, 11836 ) . Dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih al Jami’ ash-Shaghir no. 1921.

Setelah kita melewati pembahasan diatas, maka yang tersisa adalah pembahasan tentang air musta’mal.

AIR MUSTA’MAL
Yang dimaksudkan dengan air musta’mal adalah tetesan-tetesan air yang jatuh dari Anggota badan sesorang jika dia menggunakan air, baik untu mandi, berwudhu ataupun selainnya. Berkata syaikh Ibnu Utsaimin :
الامستعما : ان يمرالماء على العضو, ويتساقط منه, ولس الماء المستعمل هو الذى يتساقط بعد الغشل فيه

    “ Air musta’mal adalah air yang telah dibasuh pada anggota badan kemudian berjatuhan/ bertetesan dari anggota badan tersebut dan bukan air yang telah diciduk atau sisanya, bahkan air yang berjatuhan sesudah dipakaikan ke tubuh. “
Contoh :
Engkau mencuci wajahmu kemudian air yang berjatuhan dari wajahmu itulah yang dimaksudkan dengan air musta’mal. ( Lihat Syarhul-Mumti’ 1/31 )
HUKUM AIR MUSTA’MAL
Para ulama berkhilaf tentang suci atau tidaknya air musta’mal. Yang rajih Insya Allah air musta’mal adalah suci mensucikan. Ini pendapat jumhur ulama, kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya karena kemasukan benda najis. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
1.    Perbuatan para sahabat yang memanfaatkan air yang berjatuhan dari air wudhu Nabi ( shahih Bukhari no : 187 )
2.    Nabi mandi janabah bersama istrinya dari satu bejana, hadist Aisyah ( Shahih Bukhari no : 273, Muslim no : 321 )
3.    Sabda nabi kepada Abu Hurairah
إن الماءلاينجس

“ sesungguhnya air itu tidak najis “ ( HR Bukhari no : 283, Muslim no : 371 )

Tambih ( peringatan ) :
Abu Hanifah dan muridnya, Abu Yusuf menyelisihi pendapat jumhur ulama, mereka menyatakan bahwa air musta’mal adalah najis ( Majmu Fatawa 1/204, Nailul Author 1/29-33 )

JUMHUR ULAMA BERSELISIH APAKAH AIR MUSTA’MAL YANG SUCI ITU DAPAT DIGUNAKAN UNTUK BERSUCI   ???
-         Kelompok pertama mengatakan air musta’mal suci tapi tidak dapat mensucikan .
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah :
1.    Ahmad dalam satu riwayat
2.    Syafi’y dan Malik
3.    Al Laist dan Al Auza’I dan yang lainnya
-         Kelompok Kedua mengatakan Air Musta’mal yang suci dan mensucikan.
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah :
1.    Al – Hasan dan Atho
2.    An- Nakh’I dan Al Auza’i
3.    Makhul, Ahlu Zhohir
4.    Ahmad, Syafi’y dan Malik
Dalam salah satu riwayat dari mereka, pendapat kelompok kedua inilah yang rajah Insya Allah, berdasarkan hadist :
الماء طهورلاينجسه شيء
“ air itu suci, tidak ternajisi oleh sesuatu apapun “ ( Hadist Shahih yang diriwayatkan oleh : Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lain ), Lihat Al Mugni dan Naila Author.
أن رسول الله كان يغتسل بفضل ميمونة
“ bahwa Rasul Sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi janabah dengan sisa air mandi maimunah “ ( HR Muslim no : 323 dari Ibnu Abbas )
Tambih ( peringatan ) :
Berkata Ibnu Hazm : “ Bolehnya berwudhu dan mandi Junub dengan air musta’mal dan kebolehannya disini adalah sama saja baik didapatkan air lain yang bukan musta’mal maupun tidak didapatkan” ( Al Muhalla, 1/183 )







Selasa, 24 Juli 2012

Hadits Mengerak Gerakkan Jari telunjuk Ketika Tasyahud



PEMBAHASAN HADIST – HADIST TENTANG MENGGERAK – GERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA TASYAHUD

 Saya sering ditanyakan tentang apa hukumnya menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud. Ketika mendengar pertanyaan – pertanyaan semacam ini saya lansung teringat sikap sebahagian ikhwan kita yang kurang bijaksana dalam menghadapi masalah – masalah fiqih yang tidak lepas dari ruang ijtihad dan perbedaan pendapat para ulama. Sehingga sering terjadi diantara para ikhwan perdebatan/adu mulut bahkan sampai pada tingkat saling mengolok – olok satu dengan yang lainnya.

Dalam menghadapi fenomena seperti ini saya sangat terpukul dengan sikap dan cara pandang mereka dalam menghadapi masalah – masalah yang bersifat ijtihadayah fiqhiyah seperti ini. kondisi seperti ini semakin parah jika sampai membawah mereka pada permusuhan dan perpecahan, dan hal ini benar – benar terjadi ketika masing – masing dari pihak yang berselisih tersebut tidak memiliki sikap lapang dada.

Dan ini merupakan suatu kenyataan yang sangat tragis karena permusuhan dan perpecahan tersebut terjadi hanya dalam masalah furu’ belaka. Padahal coba tengoklah sikap yang dimiliki oleh para ulama yang semoga Allah merahmati mereka semua sejak dari zaman dulu sampai sekarang, dengan keikhlasan dan keadilan yang dimiliki oleh mereka maka Allah takdirkan kesanggupan bagi mereka untuk membawa umat keluar dari perselisihan dan perpecahan dengan berpegang pada dalil – dalil syar’i dengan lapang dada dan tidak fanatik  terhadap madzhab tertentu jika perselisihan tersebut hanya dalam masalah yang bersifat ijtihadiyah fiqhiyah.

Dengan demikian agar pemahaman kita menjadi baik dan sikap kita tidak menjadi jumud maka kita harus mengambil akhlak dan adab dari para uluma terkhususkan pada perkara ini adalah dalam menghadapi perselisihan pendapat yang bersifat ijtihadiyah fiqhiyah, maka saya sarankan untuk membaca dan memperhatikan bagaimana para imam – imam kita menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah fiqhiyah. Maka perhatikanlah kitab – kitab para ulama seperti Al-Majmu’ karya imam An Nawawi, Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, Al Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful ulama karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi dan kitab – kitab para ulama yang lainnya semoga kita dapat mengambil pelajaran dari jalan yang telah ditempuh oleh mereka.

         Adapun tentang menggerak-gerakkan jari telujuk ketika tasyahud atau tidak menggerak-gerakkannya maka saya kelompokan hadist-hadistnya dalam tiga bagian/keadaan, yang rinciannya sebagai berikut :
a)      Ada hadist-hadist yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali
b)      Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan
c)      Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan saja dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.

Peringatan :
ü  Hadist-hadist yang menjeslakan tentang keadaan jari telunjuk pada saat bertasyahud kebanyakannya dari jenis yang ke tiga.
ü  Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadist-hadist yang jenis ketiga tersebut, karena hadist-hadist tersebut diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dalam shohih keduanya dan juga diriwayatkan oleh para imam yang lainnya.
ü  Hadist-hadist jenis yang ketiga ini diriwayatkan dari beberapa orang sahabat. Seperti :
1.      ABDULLAH BIN ZUBAIR
2.      ABDULLAH BIN UMAR
3.      ABU HUMAID AS-SA’IDY
4.      WA’IL BIN HUJR
5.      SA’AD BIN ABI WAQASH
6.      ABU HURAIRAH
ü  Maka dengan demikian hadist-hadist dalam jenis ketiga ini tidak perlu kita bahas lagi. Maka yang tersisa dan perlu dibahas adalah derajat hadist-hadist dari jenis yang pertama dan yang kedua.

A.    HADIST-HADIST YANG MENJELASKAN BAHWA JARI TELUJUK TIDAK DIGERAKKAN SAMA SEKALI KETIKA TASYAHUD.

         Sepanjang yang kami ketahui dalam hal ini ada dua hadist. Wallahu waliyyut taufiq.

HADIST YANG PERTAMA.
          انٌ النبيٌ صلىٌ الله عليه واَله وسلٌم  كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحرٌكها
“Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdo’a DAN BELIAU TIDAK MENGERAK-GERAKKANNYA”.
HADIST INI DIRIWAYATKAN OLEH :
·         Abu Daud dalam sunan-nya no 989
·         An-Nasa’I dalam Al-Mujtaba no 127
·         At-Thobrani dalam kitab Ad-Du’a no 638
·         Al-Baghawi dalam Syarhus sunnah no 676
Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah bin Zubair dari ayahnya Abdullah bin Zubair kemudian Abdullah bin Zubair menyebutkan hadist ini.
PERINGATAN :
        Meskipun pada sebagian jalur periwayatan hadist ini ada sedikit perbedaan, namun semuanya berporos pada Muhammad bin Ajlan dan Amir bin Abdillah. Seperti dalam riwayat Abu Daud bahwa IBNU JURAIJ tidak mengambil lansung dari MUHAMMAD BIN AJLAN tetapi dia mengambil dari ZIYAD BIN SA’AD dan Ziyad mengambil dari Muhammad bin Ajlan. Begitu pula bukan hanya Muhammad bin Ajlan yang mengambil dari Amir bin Abdullah akan tetapi ada rawi yang lainnya yang juga mengambil dari Amir bin Abdullah yakni Ustman bin Hakim dan Makhromah bin Bukhair yang insyaallah akan kita sebutkan riwayat-riwayat mereka.
DERAJAT RAWI-RAWI HADIST DI ATAS :
§  Hajaj bin Muhammad
Beliau rawi stiqoh yang tsabat akan tetapi mukhtalit /bercampur hafalannya di akhir usianya.akan tetapi hal ini tidak membahayakn karena tidak ada yang mengambil hadist dari beliau setelah hafalannya terganggu.(setelah hafalannya kacau dia tidak punya murid lagi hingga dengan demikian hadist-hadist yang berasal darinya adalah selamat dari kekacauan hafalannya) lihat tarikh Baghdad dan lain-lainnya.

§  Ibnu Juraij
Nama nya Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij Almakky. Beliau adalah rawi stiqoh akan tetapi seorang mudallis. Namun dalam riwayat ini tidak berbahaya karena beliau memakai sigho jazm yakni dia berkata akhbarani (telah mengabarkan kepadaku).meski pada riwayat Abu Daud dia menggunakan kata ‘an ( عن ) ketika mengambil dari Ziyad, namun dalam kondisi ini tidak parah karena dating dalam sanad lain yang berhenti pada beliau dan dia meenggunakan sigho yang jazm (yakni akbarani). Dengan demikian maka kondisinya dalam riwayat ini tergolong sebagai illat yang gairu qoodihah/yang tidak berbahaya.

§  Muhammad bin Ajlan
Beliau adalah rawi shoduq( jujur )

§  Amir bin Abdullah bin Zubair
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib bahwa beliau adalah tsiqoh ‘abid ( terpercaya, ahli ibadah ).

§  Abdullah bin Zubai
Beliau adalah seorang sahabat
DERAJAT HADIST
       Setelah kita mengetahui keadaan rawi-rawi hadist ini sebagaimana yg telah diterangkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah rawi-rawi yang dapat dipakai sebagai hujjah. Meski demikian tidak bisa dipastikan bahwa hadist ini adalah SHOHIH atau HASAN sebelum dipastikan bahwa hadist ini bebas dari illat/cacat dan tidak syadz, karena sebuah hadist itu dinyatakan shohih atau hasan apabila bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh rawi-rawi yang maqbul ( diterima periwayatan mereka ) serta harus bebas dari illat/cacat dan syazd. Dengan demikian maka hadist ini telah terpenuhi padanya dua syarat yakni bersambung sanadnya dan para rawinya adalah para rawi yang maqbul, hanya saja masih tersisah satu syarat yang lain yang harus kita buktikan yakni apakah hadist ini bebas dari illat dan syazd ataukah tidak.
Dan Alhamdulillah sepanjang pemeriksaan yang kami ketahui dengan izdin Allah maka yang saya yakini adalah hadist ini pada kalimat   لا يحرٌكها  beliau tidak menggarak-garakkan jari telunjuknya adalah merupakan kalimat hadist yang SYAZD dan saya menguatkan pendapat para imam yang menghukumi kalimat ini dengan hukum syazd diantara mereka separti imam Al Bani rahimahulllah. Maka sebelum dijelaskan sisi syazd nya hadist ini perlu kiranya dijelaskan apa pengertian hadist syazd menurut istilah ahli hadist. Syazd menurut pendapat yang paling kuat diantara ahlul hadist ada dua bentuk sebagai berikut :
Ø  Pertama : syazd karena seorang rawi tidak mampu bersendirian dalam periwatannya karena beberapa faktor.
Ø  Kedua : syazd karena menyelisihi.
Pengertian syazd dalam bentuk ini adalah
رواية المقبول مخالفا لمن هو أولى منه عددا او توثيقا            
“Riwayat dari para rawi yang diterima akan tetapi menyelisihi riwayat para rawi yang lebih baik darinya baik dari segi jumlah rawi maupun kekuatan hafalan para perawi tersebut”
Dan yang dimaksudkan adalah kalimat “la yuharrikuha” (beliau tidak menggerak-gerakan jarinya) pada hadist ini adalah syazd pada jenis syazd yang kedua ini.Dan perlu diketahui bahwa hadist syazd adalah termasuk jenis hadist do’if yang tidak boleh diterima dikalangan ahli hadist.Maka lafazd ” la yuharrikuha”( لا يحرٌكها adalah merupakan kekeliruan dan kesalahan dari seorang rawi dalam hadist tersebut. Dengan demikian kesalahan dan kekeliruan ini berasal dari dua kemungkinan yang pertama bisa berasal dari para rawi yang mengambil dari Muhammad bin ajlan diantara mereka adalah :
1.      Ziyad bin Sa’ad dalam riwayat Abu Daud no 989
Dalam periwatan Ziyad ini terdapat kalimat la yharrikuha لا يحرٌكها
2.      Al Laist bin Sa’ad dalam riwayat Muslim dan Al Bahaqi dalam sunan nya.
Dalam periwayatan Al Laist ini tidak terdapat kalimat LA YUHARRIKUHA
3.      Abu Kholid Al Ahmar dalam riwayat Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ahmad Al Hakim dalam syi’ar ashabul Hadist hal 62, Ibnu Hibban dalam Al Ihsan no 1943, Ibnu Abdil Baaar dalam AT tamhid 13/194, Ad Daraquthni dalam sunan nya 1/349, Al Baihaqy 2/131 Abd bin Humaidi no 99
Dalam riwayat Abu Kholid ini tidak terdapat kalimat LA YUHARRIKUHA.
4.      Yahya bin Sa’id Al Qothan dalam riwayat Abu Daud no 990, An Nasa’I no 1275, dan Alkubro no 1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzzaimah no 718, Ibnu Hibban no 1935, Abu Awanah, dan Al Baihaqy.
Dalam periwayatan Abu Kholid ini tidak ada kalimat LA YUHARRIKUHA
5.      Sufyan bin Uyainah dalam riwayat Ad Darimi no 1338, dan Al Humaidi dalam musnadnya no 879
Dalam riwayat Sufyan bin Uyainah ini juga tidak ada kalimat LA YUHARRIKUHA.
Dengan demikian maka kemungkinan yang pertama ini kesalahan terjadi pada rawi yang mengambil dari Muhammad bin Ajlan.yaitu Ziyad bin Sa’ad dimana dalam periwayatannya dia menyebutkan kalimat LA YUHARRIKUHA sedangkan empat orang rawi yang mengambil dari Muhammad bin Ajlan tidak menyebutkan kalimat tersebut sebagaimana yang telah anda lihat pada keterangan diatas, dan perlu diketahui juga bahwa empat orang rawi tersebut adalah rawi yang stiqoh.
Adapun kemungkinan yang kedua bahwa kesalahan dan kekeliruan ini terjadi pada Muhammad bin Ajlan. Hal ini disebabkan karena beberapa perkara sebagai berikut :
1)      Riwayat Muhammad bin Ajlan dikeluarkan juga oleh imam Muslim no 113 akan tetapi tidak ada penyebutan kalimat LA YUHARRIKUHA
2)      Ada tiga orang rawi yang stiqoh yang mengambil hadist ini dari Amir bin Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin Ajlan juga mengambil hadist ini dari Amir bin Abdullah bin Zubair akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan dalam periwayatan mereka kalimat LA YUHARRIKUHA.

Tiga orang rawwi tersebut adalah :
Ø  Ustman bin Hakim
Dalam riwayat Muslim no 112, Abu Daud no 988,Ibnu Khuzaimah no 696, dan yang lainnya.
Ø  Ziyad bin sa’ad
Dalam riwayat Al Humaidy no 879.
Ø  Makhromah bin Bukair
Dalam riwayat An Nasa’I no 1161 dan Al Baihaqy 2/132.
Dengan demikian maka kemungkinan yang kedu ini mengatakan Muhammad bin Ajlan bersendirian dalam meriwayatkan hadist tersebut dari Amir bin Abdullah bin Zubair dengan menyebut kalimat LA YUHARRIKUHA dimana rawi-rawi yang lain tidak yang sama-sana mengambil dari Amir bin Abdullah tidak menyebutka kalimat tersebut.
KESIMPULAN :
     Setelah memperhatikan dua kemungkinan ini maka Nampak bagi kita bahwa kesalahan ini terjadi pada Muhammad bin Ajlan dimana kedang dia meriwayatkan pada suatu kesempatan dengan tidak menyebutkan kalimat LA YUHARRIKUHA dan pada kesempatan yang lainnya beliau dalam keadaan keliru sehingga meriwayatkan dengan kalimat La yuharrikuha dimana riwayat dengan kalimat ini beliau sebutkan kepada Ziyad bin Sa’ad sebagaimana yang anda lihat pada kemungkinan yang pertama diatas. Hal ini semakin jelas dengan memperhatikan penjelasa yang saya sebutkan pada kemungkinan yang kedua. Dengan demikian maka Ziyad bin Sa’ad terbebaskan dari  sangkaan melakukan kesalahan pada hadist tersebut. Sekali lagi dengan yakin saya katakana kesalahan ini terjadi pada MUHAMMADD BIN AJLAN. Wallahu waliyut taufiq.
HADIST YANG KEDUA
            عن ابن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسلرى على ركبته اليسرى ويشير بأصبعه ولا يحرٌكها و يقول انها مذبٌة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلٌم يفعله          
“Dari Ibnu Umar adalah beliau meletakkan tangan kanannya diatas lutut kanannya dan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan tidak menggerakkannya lalu beliau berkata “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari syaithon” dan beliau berkata “adalah Rasulullah mengerjakannya.”
HADIST INI DIRIWAYATKAN OLEH :
·         Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqoot  7/448
Dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Umar
DERAJAT RAWI-RAWI HADIST
     Seluruh rawi sanad hadist Ibnu Hibban adalah tsiqoh( terpercaya ) kecuali KATSIR BIN ZAID. Para ulama ahli jarh wa ta’dil berbeda pendapat tentang keadaannya. Dari uraian para imam ahli jarh dan ta’dil maka dapat kita simpulkan dan kuatkan apa yang dikatakan oleh Al Hafizd Ibnu Hajar. Beliau berkata shoduq yukhti’u katsir ( jujur tapi banyak salah ). Dengan demikian ucapan Al Hafizd ini adalah merupakan isyarat tentang illat/cacatnya hadist ini ( d0’if ) namun bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat.
Namun ternyata bukan hanya masalah keadaan Katsir yang menjadi satu-satunya alasan dilemahkan hadist ini karena Kastir melakukan dua kesalahan yang menyebabkan bertambah beratnya cacat/kelemahan hadist ini.
Kesalahan pertama :
Kastir meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Ternyata dalam hal ini Kastir menyelisihi TUJUH ORANG RAWI TSIQOH yang meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam,dimana dalam periwayatan mereka bahawa mereka tidak mengambil dari Nafi’ dari Ibnu Umar akan tetapi mereka mengambil dari ALI BIN ABDURRAHMAN AL MU’AWY dari Ibnu Umar.
TUJUH ORANG RAWI TERSEBUT ADALAH :
·         Imam Malik
Dalam Al Muwatho 1/88, shohih Muslim 1/4o8, sunan Abi Daud no 987, sunsn An Nas’I no 1287, shohih Ibnu Hibban sebgaimana dalam Al Ihsan no 193, Musnad Abu Awanah 2/243, sunan Al Baihaqy 2/130, syarhus sunnah Al Baghawy 3/175-176 no 675.
·         Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir
Dalam sunan An Nasa’I no1160, Ibnu Khuzaimah no 719, Ibnu Hibban no 1938, Abu Awanah 2/243 dan 246, Al Baihaqy 2/132.
·         Sufyan bin Uyainah
Dalam shohih Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah no 712, AlHumaidy no 648.
·         Yahya bin Sa’id Al Anshory
Dalam sunan An Nasa’I no 1266 dan Al Kubro no 1189, Ibnu Khuzaimah no 712.
·         Wuhaib bin Khalid
Dalam Musnad Ahmad no 273, dan Musnad Abu Awanah no 2/243.
·         Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darawardy
Dalam riwayat Al Humaidy 2/287 no 648.
·         Syu’bah bin Hajjaj
Dalam ‘Ilall ibnu Abi Hatim 1/108 no 292.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuh orang rawi tersebut diatas dalam periwayatan mereka tidak menyebutkan kalimat LA YURRIKUHA sedang Katsir bin Zaid menyelisihi mereka dengan menyebutkan kalimat LA YUHARRIKUHA.

Kesalahan kedua :
Ayyub As-Sikhtiyany dan ‘Ubaidullah bin Umar Al Umary dalam riwayat mereka dari Nafi’ dari Ibnu Umar juga tidak disebutkan kaliamat LA YHARRIKUHA. Baca riwayat mereka dalam :
·         Shohih Muslim no 580
·         Sunan At Tirmzdy no 294
·         Sunan An Nasa,I 3/37 no 1269
·         Sunan Ibnu Majah no 913
·         Ibnu Khuzaimah no 717
·         Abu Awanah no 245
·         Al Baihaqy 2/130
·         Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah no 673-674
·         At Thobrany dalamAd Du’a no 635
Dengan demikian nampaklah dari penjelasan diatas bahwa hadist ini juga adalah ahdist yang lemah. Sehingga seluruh hadist yang menerangkan bahwa jari telunjuk tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan tidak dapat dipakai untuk berhujah.Wallahu walyyut taufiq

B.     HADIST-HADIST YANG MENJELASKAN BAHWA JARI TELUNJUK DIGERAK-GERAKKAN
Sepanjang pemeriksaan yang kami ketahui hanya ada SATU hadist yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerakkan pada saat tasyahud, wallahu a’lam yaitu hadist Wa’il bin Hujr. Lafazdnya sebagai berikut :
ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة ثم رفع اصبعه فرأيته يحرٌكها يدعو بها         
“Kemudian beliau menggenggam antara jari-jarinya dan membuat lingkaran kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkan nya dan beliau berrdo’a dengan nya”
HADIST INI DIRIWAYATKAN OLEH :
·         Ahmad 4/318
·         Ad Darimy no 1357
·         An Nasa’I no 889 dan 1268. Dan dalam Al Kubro no 963
·         Ibnul Jarud dalam Al Muntqa no 208
·         Ibnu Hibban dalam Al Ihsan no 1860
·         Ibnu Khuzaimah no 714
·         At Thobrany 22/35 no 82
·         Al Khatib Al Baghdady dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427
Semuanya meriwayatkan dari jalan Za’idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa’il bin Hujr. Rawi Hadist ini adalah rawi-rawi yang maqbul, hingga jika kita melihat sepintas maka zhohir hadist ini hasan. Akan tetapi sebagaimana yang telah difahami bahwa sanad hadist yang hasan belum tentu selamat dari illat/cacat dan syazd. Berangkat dari sini maka perlu diketahui bahwa Za’idah bin Qudamah adalah seorang rawi yang stiqoh akan tetapi dalam hadist ini beliau telah menyelisihi dua puluh dua rawi yang mana dua puluh dua orang rawi ini stiqoh bahkan  sebagian dari mereka lebih stiqoh/kuat dari Za’idah sehingga apabila Zaidah menyelisihi seorang saja dari mereka maka sudah cukup untuk menjadi sebab syazd nya riwayat Zaidah. Dimana semuanya meriwayatkan dari orang yang sama dengan orang yang Za’idah meriwatkan dari mereka, yakni dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa’il bin Hujr. Dan dua puluh dua orang rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan kalimat YUHARRIKUHA يحرٌكها ( menggerak-gerakkan.
DUA PULUH DUA ORANG RAWI TERSEBUT :
1)         Bisr bin Al Al Mufadhal
     Dalam riwayat Abu Daud no 726, dan no 957, An Nasa’I no 1265 dan Al Kubro no 1188, At Thobrany no 86
2)         Syu’bah bin Hajjaj
     Dalam riwayat Ahmad  4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya no 697 dan 689, At Thobrany no 83 dan dalam Ad Du’a no 637
3)         Sufyan Astaury
     Dalam riwayat Ahmad 4/318, An Nasa’I no 1264, dan Al Kubro no 1187, At Thobrany no 78
4)         Sufyan bin ‘Uyainah
     Dalam riwayat An Nasa’I no 1263, dan dalam Al Kubro no 1186, Al Humaidy no 885, Ad Daraquthny 1/290, At Thobrany 22/36 no 85, Al Khathib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5)         Abdullah bin Idris
     Dalam riwayat Ibnu Majah no 912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu khuzaimah 1/353, Ibnu Hibban no 1936.
6)         Abdul Wahid bin Ziyad
     Dalam riwayat Ahmad 4/316, Al Baihaqy dalam Sunannya 2/72
7)         Zuhair bin Mu’awiyah
     Dalam riwaayat Ahmad 4/318, At Thobrany 22/26 no 84, dan dalam Ad Du’a no 637,
8)         Khalid bin Abdillah At Thohhan
     Dalam riwayat AtThohawy dalam Syarh ma’any Al Atsar1/259,Al Baihaqy 2/131, Al Khatib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433
9)         Muhammad bin Fudhoil
     Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah no 713
10)     Sallam bin Sulaim
     Dalam riwayat At THoyalisi dalam Musnadnya no 1020, At Thoyaalisi dalam musnadnya no 1020, At Thohawy dalam syarh Ma’any Al Atsar 1/259, Ath Thobrany 2/34 no 80, dan Al Khathib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/431 – 432.
11)     Abu ‘Awanah
     Dalam riwayat At Thobrany 22/38 no 80
12)     Ghailan bin Jami’
     Dalam riwayat At Thobrany 22/37 no 88
13)     Qais binRobi’
     Dalam riwayat At Thobrany 22/33 no 79
14)     Musa bin Abi Katsir
     Dalam riwayat At Thobrany 22/37 no 89
15)     ‘Ambasah bin Sa’id Asady
     Dalam riwayat At Thobrany 22/37 no 87
16)     Musa bin Abi ‘Aisyah
     Dalam riwayat At Thobrany dalam Ad Du’a no 637
17)     Khallad Ash Shaffar
     Dalam riwayat At Thobrany dalam Ad Du’a 637
18)     Jarir bin ‘Abdul Hamid
     Riwayat Al Khatib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/435
19)     ‘Abidah bin Humaid
     Riwayatnya dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436
20)     Sholeh bin ‘Umar
     Dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/433
21)     Abdul ‘Aziz bin Muslim
     Dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437
22)     Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid
     Diriwayatkan oleh Al Khatib dalam Al Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa riwayat Za’idah bin Qudamah dalam hadist Wa’il bin Hujr dengan penyebutan lafazd/kalimat “YUHARRIKUHA”(menggerak-gerakkan jari telunjuk) adalah riwat yang lemah disebabkan karena lafazd “YUHARRIKUHA” adalah syazd. Maka riwayat ini tidak dapat diamalkan.

Sebagai tambahan pembahasan, maka berikut ini saya turunkan pendapat-pendapat para imam dalam masalah ini agar jelas semakin jelas dan terang semakin terang menyingkirkan keraguan dan dada semakin lapang dalam beragama, serta tidak tergesah-gesah memberikan predikat jahil dan kurang ilmu kepada org yang bersebrangan pendapat dengan kita dalam perso’alan-perso’alan yang masih diperselisihkan oleh para ulama sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para asatizdah yang tersebar dalam buku-buku mereka. Bahkan sampai-sampai ada yang mengatakan orang-orang yang menghukumi hadist tahrik dalam riwayat Za’idah sebagai hadist yang syazd adalah orang yang miskin ilmu dan baru baca satu atau dua buku mustholahul hadist. Saya sedih dan semakin sedih melihat sikap yang tergesah-gesah seperti ini, maka saya sarankan ittaqullah ya ustazd dalam kalimat seperti ini karena disana ada sejumlah imam ahli hadist yang menghukumi hadist ini sebagai hadist yang syazd lalu apakah antum juga akan mengatakan bahwa para imam ini jahil terhadap ilmu hadist dan mereka baru baca satu atau dua buku mustholahul hadist ???? Allahu musta’an
 PENDAPAT PARA IMAM
       Perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud. Pendapat mereka terkelompok dalam tiga pendapat sebagai berikut :
 Pertama :
Jari telunjuk tidak digerak-gerakkan dalam tasyahud.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan merupakan pemdapat paling kuat dari kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah dan pendapat ini yang dipegang oleh Ibnu Hazm
 Kedua :
Jari telunjuk digerak-gerakkan dalam tasyahud.
Merupakan pendapat yang kuat dikalangan Malikiyah dan disebutkan oleh Al Qadi Abu Ya’la dari kalangan hambaliyah dan pendapat ini dipegang oleh sebagian imam dari kalangan Hanafiyyah dan Syafi’iyah
 Ketiga :
Terkadang jari telunjuk digerak-gerakkan dan terkadang tidak digerak-gerakkan, dan pendapat ini diistaratkan oleh syaikh Al-Albany dalam Tamamul minnah hal : 214 – 223, penerbit Daar Ar-Rooyah cetakan ke lima, thn : 1427 H / 2006 M. Meski syaikh Al Albany menguatkn pendapat yang mengatakn menggerak-gerakkan jari telunjuk pada saat tasyahud. Adapun Asy-Syaikh Ibnu Ustaimin berpendapat bahwa jari telunjuk hanya digerak-gerakkan pada sa’at berdo’a dan tidak digerakkan jika tidak berdo’a (mukhtaar min fatawa as-sholaah hal 16)
      Perlu diketahui juga bahwa sebab perbedaan ini adalah karena adanya dua hadist yang berbeda kandungan makna, yang keduanya salaing bersebrangan, yakni ada yang menyebutkan menggerakkan jari telunjuk pada saat tasyahud dan ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk tidak digerakkn pada saat tasyahud. Namun dari pembahasan diatas dapat simpulkan dengan jelas bahwa kedua hadist tersebut baik yang menyebutkan menggerakkan maupun yang menyebutkan tidak menggerakkan adalah hadist-hadist yang lemah yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Dengan demikian untuk sementara pendapat yang pertama dan kedua tidak dapat diamalkan demikian pula pendapat yang ketiga yang menempuh jalan tengah yakni mengkompromikan pendapat pertama dan kedua juga tidak dapat diamalkan, karena cara ini hanya dapat diamalkan jika kedua riwayat yang bersebrangan itu shohih. Maka pembahasan kita dalam hal ini dikembalikan kepada hadist-hadist yang mengatakan jari telunjuk hanya diisyaratkan dan tidak menjelaskan apakah digerakkan atau tidak. Berhubung hadist-hadist yang mengatakn jari telunjuk digerakkan dan yang mengatakn jari telunjuk tidak digerakkan adalah hadist-hadist yang do’if.
 Catatan :
v  Kelompok para ulama yang mengamalkan jari telunjuk terkadang digerakkan dan terkadang tidak digerakkan membangun argument mereka dengan alasan karena kedua hadist yang bersebrangan dalam hal ini adalah keduanya shohih ( hadist yang mengatakan menggerakkan dan tidak menggerakkan ), padahal telah lalu pembahasan kita membuktikan bahwa hadist-hadist tersebut adalah riwayat-riwayat yang syazd/do’if.
v  Kelompok para ulama yang berpendapat jari telunjuk digerak-gerakkan pada saat tasyahud membangun argument mereka dengan hadist Wa’il bin Hujr dimana dalam sanadnya terdapat Za’idah bin Qudama. Padahal telah berlalu pembahasannya bahwa riwayat Za’idah ini juga adalah hadist yang syazd/do’if. Namun mereka tetap beralasan bahwa bersendiriannya Za’idah dalam hadist Wa’il bin Hujr tersebut tidak dapat dihukumi sebagai riwayat yang syazd disebabkan karena penyebutan isyarat dalam sebagian riwayat itu bukan berarti menafikan/meniadakan tahrik (menggerak-gerakkan jari), karena seseorang yang berisyarat(menunjuk) besar adanya kemungkinan untuk adanya gerakan dalam isyarat tersebut. Contoh menunjuk/isyarat yang adanya kemungkinan gerak padanya : Seperti saya menunjuk seseorang dari kejauhan kemudian saya berikan isyarat kepadanya untuk mendekat, menjauh, atau duduk jika dia sedang berdiri, atau berdiri jika dia sedang duduk. Maka dalam isyarat yang seperti ini dapat dipastikan adanya gerakan tangan dari atas kebawah ataupun dari bawah ke atas.
Jawaban atas pendapat ini dan alasan mereka untuk tidak menghukumi hadist Wa’ail sebagai riwayat yang syazd :
                                                                                        i.            Kita sama-sama telah mengakui bahwa dalam hadist Wa’il rowi yang bernama Za’idah melakukan tafarrad/bersendirian.
                                                                                      ii.            Memang benar dalam berisyarat adanya kemungkinan gerakan seperti yang telah dicontohkan. Namun ada juga kemungkinan yang lain yakni dalam isyarat bisa adanya kemungkinan untuk tidak bergerak(tidak adanya gerakan). Sehingga dengan demikian dalam berisyarat itu mempunyai dua kemungkinan,bisa ada gerakan seperti yang telah dicontohkan dan bisa juga tidak adanya gerakan. Contoh isyarat yang tidak adanya gerakan padanya : Jika saya berada di dalam ruang kelas lalu dating seseorang bertanya kepada saya :”dalam ruangan ini siapa yang bernama Abdullaah ?” maka tentunya saya akan mengarahkan tangan/jari saya ke arah tempat duduk Abdullah tanpa adanya gerakkan. Atau ketika saya berada dalam perpustakaan lalu ada seseorang yang datang kepada saya dan bertanya :”dimanakah letak kitab tafsir ibnu katsir ?” maka saya akan mengarahkan tangan saya untuk menunjuk ke kitab tersebut yang ada diantara sekian rak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
                                                                                    iii.            Dikarenakan berisyarat/menunjuk mempunyai dua kemungkinan yang sama kuat maka tidak bisa dibawakan kepada salah satu dari dua kemungkinan tersebut kecuali dengan dalil yang kokoh. Sementara dalil-dalil dalam hal ini tidak luput dari kritikan sebagaiman yang anda telah lihat pada tulisan ini biizdnillah.
                                                                                    iv.            Jika tetap dipaksakan untuk menerima dan mengamalkan hadist Wa’il’ maka kita akan terbentur dengan permasalahan yang lain yakni :”bagaimana caranya menggerakkan jari dalam bertasyahud itu ?” apakah dengan cara bergerak secara horizontal, vertikal, atau dengan cara memutar ?” untuk menentukan arah gerak pada salah satu dari kemungkinan ini atau kemungkinan yang lainnya membutuhkan dalil.
     PENUTUP :
              Dengan demikian hadist-hadist yang menerengkan keadaan jari telunjuk digerak-gerakkan  pada saat tasyahud maupun yang menerangkan bahwa jari telunjuk tidak digerak-gerakkan pada saat tasyahud adalah hadist-hadist yang syazd/do’if dan tidak dapat diamalkan. Hingga kita dihadapkan pada hadist-hadist jenis yang ketiga yakni hadist-hadist yang hanya sekedar menyebutkan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan pada saat tasyahud dan tidak menerangkan apakah digerakkan ataukah tidak digerakkan, dan derajat hadist-hadist ini tidak perlu dibahas lagi karena terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim dalam shohih keduanya dari beberapa orang sahabat sebagaimana yang telah saya jelaskan pada awal pembahasan ini. Dan hadist-hadist inilah yang dipakai sebagai hukum asal dalam masalah tasyahud yakni hanya sekedar isyarat, sehingga membawanya keluar dari hukum asal membutuhkan dalil-dalil yang kokoh. Sehingga dikarenakan tidak ada hadist yang kokoh dalam hal ini yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengeluarkan permasalahan ini dari hukum asalnya maka tetaplah keadaan jari telunjuk itu pada hukum asalnya yakni diisyaratkan dan tidak digerak-gerakkan. Hal ini diperkuat dengan beberapa alasan sebagai berikut :
         I.            Berdasarkan kaidah “Ash-Sholatu Tauqifiyah” (sholat itu adalah tauqifiyah) artinya tata cara sholat itu ditetapkan dengan dalil-dalil dari al-qur’an dan as-sunnah. Sehingga boleh dikerjakan apabila ada dalil dan tidak boleh dikerjakan apabila tidak ada dalil, sehingga tersimpulkan bahwa sholat itu asalnya adalah diam tidak ada gerakan didalamnya sampai ada dalil yang mengatakan bolehnya bergerak untuk suatu keadaan. Dengan demikian maka keadaan jari telunjuk adalah diisyaratkan berdasarkan dalil-dalil yang shohih dan diam/tidak digerakkn berdasarkan tidak ada dalil yang shohih yang menerangkan bahwa jari telunjuk digerakkan.
      II.            Hadist Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim :
                        إنٌ  في  الصٌلاة  شغلا      
      “ Sesungguhnya di dalam sholat itu ada kesibukan “
  
Ini memberikan pengertian bahwa seseorang jika berada dalam sholat berarti dia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu kesibukan apapun yang tidak ada keterangan dalilnya dari al-qur’an ataupun as-sunnah.
Kesimpulan akhir :
      Inilah pendapat yang insyaallah sangat mendekati dalil dan inilah pendapat yang saya pandang rojih berdasarkan dalil-dalil yang ada. Alhamdulillah pembahasan ini dapat saya selesaikan dengan mendapatkan isyarat dari Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah yang telah saya baca dalam kitab beliau “As-Shohihul Musnad Mimmaa Laisa Fi Ashohihain” juz : 2 , hal : 237-239 tepatnya pada musnad Wa’il bin Hujr dimana beliau memberikan isyarat tentang kelemahan hadist Wa’il tersebut, kemudian saya berusaha membuka beberapa kitab lain seperti Al-Muhalla, Subulus salam, Nailaul Author, Ainul Ma’bud, Tuhfatul Ahwazdi, Al majmu’ dan beberapa kitab yang lainnya sebagaimana yang saya letakkan sebagai rujukan. Dan Alhamdulillah ketika saya berkunjung ke guru sekaligus saya anggap sebagai orang tua saya Al-ustazd Ja’far Umar Tholib hafizzhahullahu ta’ala pada 20-juni-2012 dan saya sempat tinggal beberapa hari di Ma’had ihya us-sunnah dan sempat bermuzdakarah dengan beliau di maktabah/perpustakaan beliau maka beliau menunjukan dan meminjamkan kepada saya kitab kecil yang sangat bermanfaat dalam penulisan masalah ini yang berjudul “Al-Bisyarah Fi Syuzduzd Tahrik Al-Ushbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah” kitab ini juga diberikan mukaddimah oleh Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu ta’ala. Dari kitab kecil inilah saya mendapatkan sejumlah manfa’at dan bergembira dengan apa yang telah hampir selesai saya tulis dalam perso’alan ini dan semakin menambah kuat keyakinanku akan kelemahan hadist Wa’il dalam perso’alan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud. Ini semua merupakan karunia dari Allah Robbul ‘Izzah kemudian keberkahan yang Allah anugrahkan kepada kita wal hamdulillah. Wallahu waliyyut taufiq