PERTANYAAN
- Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang
hamil?
- Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan?
Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung
menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
- Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin
(mahar)?
Insyaallah pertanyaan ini akan kami jawab
dengan memohon pertolongan Allah Rabbul ‘izzah..Sebagai berikut.
JAWABAN PERTAMA
Perempuan yang dinikahi dalam
keadaan hamil ada dua macam:
- Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan
hamil.
- Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana
yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘ iyadzu billah ,
mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini-.
Adapun perempuan hamil yang
diceraikan oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘ iddah[1]
nya, dan ‘ iddahnya ialah sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu
Wa Ta ’ ala ,
“ Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu ‘ iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]
Hukum menikah dengan perempuan hamil
seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam
firman Allah Ta ’ ala ,
“ Dan janganlah kalian ber- ‘ azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis
‘ iddahnya. ” [ Al-Baqarah: 235 ]
Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir
-nya, tentang makna ayat ini, “ Yaitu, jangan kalian melakukan akad nikah
sampai lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian beliau berkata, “ Dan para ulama telah
bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘ iddah. ”
Lihat Al-Mughny
11/227, Takmilah Al-Majmu ’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263,
dan Zadul Ma ‘ ad 5/156.
Adapun perempuan yang hamil karena
zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan
banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al- ‘ Alim Al-Khabir , masalah ini kami
uraikan sebagai berikut.
Tentang perempuan yang telah berzina
dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Secara global, para ulama berbeda pendapat
dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada dua
pendapat di kalangan ulama:
- Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad
dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
- Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat
Imam Malik, Syafi ’ iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Al-Fatawa 32/109, “ Menikahi perempuan pezina adalah haram
sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan. ”
Tarjih di atas berdasarkan firman
Allah ‘ Azza Wa Jalla ,
“ Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. ” [ An-Nur: 3 ]
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh, beliau berkata,
أَنَّ مَرْثَدَ
بْنَ أَبِيْ
مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ
رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ كَانَ
يَحْمِلُ الْأَسَارَى
بِمَكَّةَ وَكَانَ
بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ
بَغِيٌّ يُقَالُ
لَهَا عَنَاقٌ
وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ
: فَجِئْتُ إِلىَ
النَّبِيِّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَنْكِحُ
عَنَاقًا ؟
قَالَ : فَسَكَتَ
عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ
فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ
: لاَ تَنْكِحْهَا
“ Sesungguhnya Martsad bin Abi
Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata, ‘ Maka saya datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala
alihi wa sallam lalu saya berkata, ‘ Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh)
menikahi ‘ Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘ Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat),
‘ Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik .’ Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata, ‘ Jangan kamu menikahi dia .’ . ” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no.
3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180,
Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan
disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih
Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas
menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut
berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
التَّائِبُ
مِنَ الذَّنْبِ
كَمَنْ لَا
ذَنْبَ لَهُ
“ Orang yang bertaubat dari dosa
seperti orang yang tidak ada dosa baginya. ”
(Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari
seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang mengatakan
bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima ’ ,
atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh ‘ terhapus hukumnya ’, adalah
pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan
bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu
Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang mengatakan
haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh
Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul
Ma’ad 5/114-115.
Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah
8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Âlamil Kutub),
dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan
Sebagian ulama berpendapat bahwa
perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara
dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat
ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan
dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah,
dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny
9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, “ Tidak pantas bagi seorang
muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya
ini (dilakukan) pada saat ber-khalwat ‘berduaan’ padahal tidak halal
ber-khalwat dengan Ajnabiyah ‘perempuan bukan mahram’ walaupun
untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka bagaimana (bisa) hal
tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina? ”
Maka yang benar adalah ia bertaubat
atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar
yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
- Ikhlas karena Allah.
- Menyesali perbuatannya.
- Meninggalkan dosa tersebut.
- Ber-‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan
mengulanginya.
- Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum
matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan di sini tempat menguraikan
dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua , telah lepas ‘iddah.
Para ulama berbeda pendapat apakah
lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina
atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama , wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry,
An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan
Ishaq bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan
Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang
berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan
boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang
menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber- jima’ sampai
istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid
atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda
tentang tawanan perang Authas,
لاَ
تُوْطَأُ حَامِلٌ
حَتَّى تَضَعُ
وَلاَ غَيْرُ
حَامِلٍ حَتَّى
تَحِيْضَ حَيْضَةً
“ Jangan dipergauli perempuan hamil
sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu
kali. ” (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87,
Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449,
Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah
An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini
mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga
dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , beliau bersabda,
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلاَ
يَسْقِ مَاءَهُ
زَرْعَ غَيْرِهِ
“ Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. ” (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy
no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217,
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no.
4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu
‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
أَنَّهُ أَتَى
بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ
عَلَى بَابِ
فُسْطَاطٍ فَقَالَ
لَعَلَّهُ يُرِيْدُ
أَنْ يُلِمَّ
بِهَا فَقَالُوْا
نَعَمْ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ
صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ
لَقَدْ هَمَمْتُ
أَنْ أَلْعَنَهُ
لَعْنًا يَدْخُلُ
مَعَهُ قَبْرَهُ
كَيْفَ يُوَرِّثُهُ
وَهُوَ لاَ
يَحِلُّ لَهُ
كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ
وَهُوَ لاَ
يَحِلُّ لَهُ.
“ Beliau mendatangi seorang
perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, ‘
Barangkali orang itu ingin menggaulinya? ’ ( Para sahabat) menjawab, ‘ Benar. ’
Maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda, ‘
Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke
kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan
bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya ’ . ”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah,
“ Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi
perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi
karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. ”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat
yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah
(Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan
Nampak dari dalil-dalil yang
disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi
sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan
ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘ Azza Wa Jalla,
“ Dan perempuan-perempuan yang hamil
waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]
Adapun perempuan yang berzina dan belum
nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan
‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan bahwa
iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang
lainnya berpendapat bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan
yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh Imam
Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan
satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan
hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dengan tiga kali haid hanya
disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh
suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,
“ Dan wanita-wanita yang ditalak
(hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). ” [ Al-Baqarah: 228 ]
Kesimpulan
- Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina
kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan tersebut telah bertaubat
dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddahnya.
- Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah
adalah sebagai berikut:
- Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
- Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah
haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala
A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny
9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf
8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah
Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa
32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adhwa`
Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li
Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
JAWABAN KEDUA
Telah jelas, dari jawaban di atas,
bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat
maupun karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat
bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau
keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah
keduanya mengetahui haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah, keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus diberi hadd ‘ hukuman ’ sebagai pezina kalau
negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya, “ Setelah
berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa ‘iddah? ”
Jawabannya adalah ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama.
Jumhur (kebanyakan) ulama
berpendapat, “ Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia
meminangnya setelah lepas ‘iddahnya. ”
Tetapi pendapat mereka diselisihi
oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya
untuk selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘ anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga
merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi ’ iy, tetapi belakangan Imam Syafi
’ iy berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang
terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir
-nya, dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik,
bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘ anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang
kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas
‘iddah. Wal ‘ ilmu ‘ indallah .
Lihat Tafsir Ibnu Katsir
1/355 (Darul Fikr).
JAWABAN KETIGA
Laki-laki dan perempuan hamil yang
melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui tentang haramnya
menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima ’ , maka
keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua
berada di negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar
bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak
mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap nikah syubhat
dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti
ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini
berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau belum dilunasi
mahar tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَإِنْ دَخَلَ
بِهَا فَلَهَا
الْمَهْرُ بِمَا
اسْتُحِلَّ مِنْ
فَرْجِهَا فَإِنْ
اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ
لاَ وَلِيَّ
لَهَا
“ Perempuan mana saja yang menikah
tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan
apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya
kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang
tidak mempunyai wali. ”
(diriwayatkan olehSyafi ’ iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220,
275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf
-nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra
4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya
2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad
-nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1463, Abu Daud
no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa
no. 700, Sa ’ id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy
2/185, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Âtsar 3/7, Abu Ya ’ la
dalam Musnad -nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221,
Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu ’ aim dalam Al-Hilyah
6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid
19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah
batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah.
Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang
kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan
mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ’ ala ,
“ Berikanlah kepada para perempuan
(yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. ” [ An-Nisa`: 4 ]
Demikianlah jawaban dari beberapa
pertanyaan diatas semoga bermanfaat.
Wallahu waliyut taufiq
0 komentar:
Posting Komentar