Oleh : Ustadz Abu Faiz
Waspadalah dari sifat tercela, karena sekecil apa pun pasti akan
membawa akibat buruk terhadap urusan dunia dan akhirat. Dan segeralah
membersihkan diri darinya, karena semua penyesalan pasti tiada guna.
Ada satu sifat tercela yang banyak menjangkiti para pemimpin dan
orang-orang yang Allah Azza wa Jalla amanatkan kepemimpinannya diatas
pundak mereka. Itulah perasaan takjub atau bangga diri terhadap kekuatan
dan kebesaran namanya. Bangga diri adalah salah satu tipu daya setan.
Para pembaca rahimahumullah, marilah kita simak kisah seorang nabi yang
takjub kepada kepemimpinannya dan akibat yang harus dialami oleh diri
dan kaumnya. Wallahul Muwaffiq.
Alkisah
Sahabat Shuhaib (Ar-Rumi) radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan
sebuah hadist dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, dia
mengatakan : “Setiap usai sholat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
membaca sesuatu dengan suara pelan yang aku (Shuhaib radhiyallahu
‘anhu) tidak memahami apa yang beliau baca dan beliau juga (sebelumnya)
tidak mengabarkan kepada kami tentang hal itu. Lalu beliau Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan : “Apakah kalian ingin tahu apa
yang aku baca?” Para Sahabat menjawab : “Iya.” Beliau melanjutkan :
“Sesungguhnya aku teringat kisah seorang nabi dari nabi-nabi
terdahulu yang memiliki pasukan perang yang sangat banyak [1]. Lalu sang
Nabi tersebut mengatakan : “Siapakah yang dpat menandingi mereka?” atau
“Siapakah yang bias mengalahkan mereka?” atau perkataan (lain) yang
sejenisnya.”
Lalu Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepadanya : “Pilihlah untuk
kaummu salah satu diantara tiga pilihan berikut : akan dikuasakan atas
mereka musuh-musuh mereka, atau merka akan ditimpa kelaparan, atau
mereka ditimpa kematian.” Lalu ia bermusyawarah dengan kaumnya untuk
menentukan pilihan tersebut, maka kaumnya mengatakan : “Engkau adalah
Nabi Allah Azza wa Jalla maka segala keputusan adalah ditanganmu,
pilihkan saja untuk kami (yang terbaik). Ia pun beranjak melakukan
sholat, dan mereka (para nabi) apabila sedang ditimpa kegelisahan akan
bersegera melakukan sholat. Lalu ia pun sholat dengan bentuk shlat yang
Allah Azza wa Jalla perintahkan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melanjutkan :
Lalu dia (Sang Nabi) berkata : “Wahai Rabbku, janganlah Engkau
kuasakan musuh-musuh kami atas kami, jangan pula Engkau timpakan
kelaparan (atas kaumku), tetapi berilah saja kematian.” Maka kemudian
mereka pun ditimpa kematian, sehingga (dalam sehari) meninggallah dai
kaumnya tersebut tujuh puluh ribu orang.
(Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melanjutkan) : Maka bacaan lirihku yang kalian lihat adalah karena aku membaca :
“Ya Allah, dengan-Mu aku berperang, dan dengan-Mu pula aku menyerbu,
serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) Allah.”
Kisah diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya: 6/16.
Syaikh al-Albani berkata (Silsilah Ahadist ash-Shohihah 5/588):
“sanadnya shohih sesuai dengan syarat Syaikhoini.”
Ibroh
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mengkisahkan bahwa ada nabi Allah
yang diberi nikmat berupa pengikut yang banyak. Karena melihat
seolah-olah kekuatan mereka tidak terkalahkan oleh musuh, timbullah rasa
bangga dalam hatinya. Ia menyangka bahwa tidak ada lagi yang dapat
mengalahkan kekuatannya. Namun, tidaklah demikian seharusnya sikap
seorang nabi.
Sesungguhnya bangga terhadap diri sendiri, harta, dan anak keturunan
adalah penyakit yang sangat jelek karena seorang mukmin yang
sesungguhnya tidak akan terpedaya dengan banyaknya jumlah pasukan
tatkala menghadapi musuh dan tidak menyiutkan nyalinya tatkala minimnya
persiapan dan personil mereka karena kemenangan dating dari pemberian
Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allh yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS.Ali Imron [3] : 126)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS.al-Baqoroh [2] : 249)
Dan bahkan pada sebagian keadaan, kebanggaan dengan jumlah yang besar
adalah satu sebab kekalahan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“….Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi
congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak
member manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.”
(QS.at-Taubah [9] : 25)
Sang Nabi dalah kisah diatas dihukum akibat berbuat kesalahannya.
Allah Azza wa Jalla menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari
tiga pilihan terkait dengan kaumnya yaitu memilih bahwa akan ada suatu
kaum lain yang bias mengalahkan mereka, atau mereka akan ditimpa
paceklik panjang, atau memilih ditimpakan kematian atas kaumnya.
Sungguh tiga pilihan yang sama-sama berat, karena semuanya akan dapat
menyebabkan kelemahan dan hilangnya kekuatan mereka dan juga akan
menghilangkan rasa bangga. Seandainya ada kaum lain yang dapat
mengalahkan mereka maka kaum tersebut akan menghinakan mereka.
Apabila mereka ditimpa kelaparan maka beratnya rasa lapar akan
menghilangkan kekuatan mereka sehngga musuh akan sangat mudah
menghancurkan dan mengalahkan mereka. Demikian juga, apabila mereka
ditimpakan kematian, hal itu pun akan mengurangi jumlah dan kekuatan
pasukan mereka. Maka memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut
bukan masalah ringan karena berkonsekuensi pada kelemahan mereka.
Pertimbangan yang ekstra hati-hati sangat dibutuhkan. Oleh karenanya,
Sang Nabi memanggil kaumnya dan bermusyawarah menentukan pilihan terbaik
untuk mereka. Namun, kaumnya tersebut justru menyerahkan segala urusan
kepadanya. Mereka mengatakan : “Engkau adalah seorang Nabi, maka segala
putusan ada di tanganmu.”
Para Nabi dan Rasul adalah orang yang diberi petunjuk dan berkata
benar. Nabi tersebut memilih untuk mereka sebuah pilihan yang paling
tepat dan terbaik karena ia memilih pilihan ketiga yaitu ditimpakan
kematian atas kaumnya. Ia tidak memilih untuk ditimpakan atas mereka
kelaparan atau dikalahkan oleh musuh. Alasannya, kalaupun tidak mati
hari ini mereka pun pasti akan mati pada hari-hari yang lain karena
kematian adalah sebuah kepastian yang siapapun tidak akan bias mengelak
dimana pun dia berada dan kapan pun juga. Orang-orang yang lebih dahulu
diwafatkan akan berarap bahwa segala amal perbuatan mereka dapat
diterima di sisi-Nya sedang orang-orang yang masih tinggal setelahnya
akan menjadikannya sebagai sebuah nasihat dan peringatan baginya.
Demikian pula, bias jadi Allah Azza wa Jalla akan menambah lagi jumlah
mereka yang sekarang tinggal sedikit karena segala perkara berada di
tangan Allah Azza wa Jalla.
Sang Nabi segera sujud kepada Allah Azza wa Jalla, bermunajat kepada
Allah Azza wa Jalla untuk dipilihkan pilihan terbaik untuknya.
Demikianlah kebiasaan para Nabi dan orang-orang yang sholih. Tatkala
ditimpa kegundahan mereka bersegera menegakkan sholat. Sang Nabi sholat
dengan bentuk sholat yang Allah kehendaki. Maka Allah memilihkan baginya
pilihan yang paling ringan.
Dia berkata kepada Robbnya: “Wahai Robbku, janganlah Engkau kuasakan
musuh-musuh kami atas kami, jangan pula Engkau timpakan kelaparan (atas
kaumku), tetapi berilah kami kematian.”
Maka tibalah saatnya musibah kematian dating kepada mereka sehingga
meninggallah dari kaumnya tersebut dalam sehari sebanyak 70.000 orang.
Sungguh akibar buruk dari perasaan bangga Sang Nabi sungguh
menakutkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun sangat khawatir
akan terjadi pada kaumnya semisal apa yang telah terjadi pada kaum nabi
tersebut.sebabitu, selesai sholat dan seusai mengisahkan kisah nabi
tersebut kepada para sahabatnya, beliau mengucapkan – dengan suara lirih
– do’a diatas.
Beliau berlepas diri dari segala perasaan bangga serta menyerahkan
segala daya dan kekuatan hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Beliau
berlepas diri dari sekadar bersandar pada kekuatan para sahabat. Tatkala
menghadang musuh beliau hanya bersandar kepada Allah Azza wa Jalla
semata karena dari-Nya-lah saja pertolongan dan dari-Nya-lah pula
kemenangan. Sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya
milik Allah Azza wa Jalla. Wallahul Muwaffiq.
Mutiara Kisah
Mutiara Kisah
Ada banyak mutiara indah tertabur dalam kisah diatas. Akankah
mutiara-mutiara itu dilalaikan begitu saja?! Tentulah tidak. Beberapa
mutiara tersebut antara lain :
1. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memahamkan kepada para
sahabatnya sebab kelemahan dan kehancuran yang akan menimpa mereka.
Diantaranya sebab-sebab itu adalah perasaan bangga dengan kekuatan
mereka.
2. Perasaan bangga adalah perkara yang sangat membahayakan.
Karena kebanggaan akan menghilangkan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla
dan bersandar kepada-Nya. Justru sebaliknya, ia akan bersandar pada
sebab-sebab duniawi saja.
3. Para pemimpin Negara, panglima perang dan siapa saja yang
diamanati kepemimpinan hendaknya senantiasa waspada bahwa Allah Azza wa
Jalla akan menurunkan atas mereka seperti apa yang telah diturunkan
kepada kaumnya Sang Nabi dalam kisah diatas. Kita pun sering mendengar
bahkan menyaksikan sendiri pada zaman kita sekarang ini perasaan bangga
meliputi kebanyakan para pemimpin Negara, para panglima perang, dan
pemilik kekuasaan dan jabatan. Akankah musibah tersebut terulang
kembali?!
4. Terkadang, sebab-sebab ditimpakannya musiabah itu disamarkan
bagi kebanyakan manusia kecuali orang-orang Allah Azza wa Jalla berikan
kefaqihannya (kepahaman) dalam urusan agamanya. Bahkan tak jarang
musibah dating kepada orang-orang sholih yang sedang berjihad di jalan
Allah Azza wa Jalla. Namun mereka tidak mengetahui sebab diturunkannya
musibah tersebut.
5. Umat yang sholih dalam jumlah besar telah ada di zaman
sebelum kita. Mereka berjihad fi sabilillah membela agama Allah Azza wa
Jalla. Orang-orang yang Allah Azza wa Jalla wafatkan dari umat tersebut
mencapai 70.000 personilyang meninggal dalam waktu yang sangat pendek.
6. Disenanginya seorang muslim apalagi di timpa perkara besar
untuk melakukan sholat bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla.
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla member petunjuk dan jalan keluar yang
paling tepat dari masalah yang sedang ia hadapi. Demikian pula diajarkan
syari’at kita bagi seorang yang tengah dalam kebimbangan dan kesulitan
menentukan pilihan terbaik untuknya, hendaklah ia melakukan shalat dua
raka’at lalu berdo’a dengan do’a istikharah yang telah diajarkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, silahkan merujuk ke hadist
riwayat al-Bukhori: 4/450.
7. Tidak boleh terburu-buru dalam menetukan pilihan, lebih-lebih
apabila yang dihadapi adalah pilihan yang berat yang butuh
kehati-hatian. Hendaklah ia memusyawarahkan terlebih dahulu sebagaimana
yang dilakukan oleh nabi tersebut dengan kaumnya. Hendaklah ia
mempertimbangkan dengan sangat hati-hati. Dan hendaklah ia berdo’a
kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufik kepadanya untuk dapat
menentukan pilihan yang paling benar. Wallahu A’lam.
Note :
[1] Dalam sebuah riwayat : “Dia membanggakan diri terhadap kaumnya.”
Sumber : Disalin ulang dari Majalah Al Furqon Edisi 7 Tahun Kedelapan Bulan Shofar 1430 H / Februari 2009.
0 komentar:
Posting Komentar