Pengantar
Kisah ini memaparkan kepintaran Nabiyullah Sulaiman yang
luar biasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam sebuah persengketaan
tanpa bukti-bukti yang membimbing kepada pemilik hak. Sulaiman
menampakkan bahwa dirinya hendak membunuh bayi yang diperebutkan oleh
dua orang wanita yang masing-masing mengklaim sebagai ibunya. Maka
terbuktilah siapa ibu yang sebenarnya, yaitu yang merelakan anaknya
diberikan kepada lawannya agar bayi itu tidak dibunuh demi menjaga
hidupnya padahal lawannya itu bersedia menerima bayi yang akan dibelah
dua oleh Sulaiman.
Teks Hadis
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Ada
dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor
serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya berkata kepada
yang lain, ‘Serigala itu mencuri anakmu.’ Yang lain menjawab, ‘Anakmulah
yang dicuri oleh serigala.’ Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud,
maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya
pergi kepada Sulaiman dan menyamapkan hal itu. Sulaiman berkata,
‘Ambillah untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’
Wanita muda berkata, ‘Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah
anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.”
Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, inilah untuk pertama
kalinya aku mendengar kata ‘sikkin’ (pisau). Kami selama ini
mengatakannya ‘mudyah’ (pisau).”
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 3427
Dalam Kitabul Faraidh , bab jika seseorang wanita mengakui seorang anak, 12/55, no. 6769.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Aqdhiyah, bab perbedaan para mujtahid, 3/1344, no. 1720.
Hadis ini dalam Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, 12/380.
Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Kitabul Qadha’, 8/234
Penjelasan Hadis
Kisah ini terjadi pada zaman Nabiyullah Dawud Alaihis
Salam. Ada dua orang wanita yang berhukum kepadanya ketika seekor
serigala membawa kabur anak salah seorang dari keduanya. Keduanya
memperebutkan anak yang selamat. Masing-masing mengklaim bahwa ia adalah
anaknya. Maka Nabiyullah Dawud berusaha untuk memberi hukum kepada
keduanya. Usahanya membimbingnya kepada suatu hukum bahwa anak ini
adalah anak wanita yang tua berdasarkan kepada dalil-dalil yang
digunakan oleh Dawud.
Keduanya keluar dari hadapan Dawud dan melewati Nabiyullah
Sulaiman Alaihis Salam. Sulaiman melihat bahwa persoalan ini bisa
diselesaikan dengan suatu cara untuk mengetahui ibu anak tersebut yang
sebenarnya. Sulaiman meminta pisau kepada orang-orang yang ada di
sekelilingnya untuk digunakan sebagai alat yang membelah tubuh anak ini
menjadi dua bagian, sehingga masing-masing mendapatkan separuh. Inilah
hukum yang adil di antara keduanya. Kedua wanita ini menyangka Sulaiman
serius dan pasti melakukan hukum itu. Di sinilah terlihat respon dari
kedua wanita itu. Ibu yang sebenarnya, yaitu si ibu muda, bersedih
terhadap hukum ini. Karena hal itu sama dengan membunuh anaknya, maka
dia merelakan anaknya di ambil oleh lawannya sehingga anaknya bisa tetap
hidup, walaupun dia tidak bisa menjaga dan mendidiknya. Sedangkan
seterunya, yang tidak terkait oleh ikatan keibuan dengan anak itu, dia
menerima hukum yang hendak dilaksanakan oleh Sulaiman tersebut. Dengan
inilah Sulaiman berdalil maka ibu anak ini yang sebenarnya. Maka dia
memutuskan bahwa ibu yang berhak terhadap anak itu adalah si ibu muda,
walaupun dia mengakui bahwa anak itu adalah anak seterunya.
An-Nawawi berkata, “Sulaiman menggunakan cara berpura-pura
dan sedikit tipu daya untuk mengetahui perkara yang sebenarnya. Dia
menunjukkan kepada keduanya seolah-olah dia ingin membelah anak itu
untuk mengetahui siapa yang bersedih jika anak itu dibelah, maka dialah
ibu yang sebenarnya. Ketika wanita yang lebih tua menyetujui jika anak
ini dibelah, terbuktilah bahwa dia bukan ibu ang seberanya. Ketika yang
muda berkata seperti apa yang dikatakannya, maka diketahui bahwa dialah
ibunya. Sulaiman tidak ingin benar-benar membelah, dia ingin menguji
kasih saying mereka berdua untuk membedakan mana ibu yang sebenarnya.
Ketika ia bisa dibedakan dnegan ucapannya, maka Sulaiman mengetahuinya.
(Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 12/381).
Cara yang digunakan Sulaiman untuk mengetahui kebenaran
adalah semacam firasat. Dia memutuskan hukum dengan berdasarkan alibi
dan tanda-tanda pendukung, tidak terpaku hanya pada keterangan dan
keadaan permukaannya saja. Seorang saksi dari keluarga wanita telah
memberikan kesaksian atas kebenaran Yusuf dan kebohongan wanita itu
dengan berpijak pada baju Yusuf yang robek di bagian belakang, “…
dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya:
“Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf
termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di
belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang
yang benar. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak
di belakang berkatalah dia: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah
diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.” (Yusuf: 26-28).
Para pengadil di kalangan kaum muslimin menggunakan
beberapa dalil dan bukti-bukti yang unik untuk mengungkap kebenaran.
Para pemakainya hanyalah orang-orang yang benar-benar pintar dan
cerdik. Di antara pengadil yang terkenal dalam urusan ini adalah Ali
bin Abi Thalib, Hakim Syuraikh, dan hakim Iyas. Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasatisy Syar’iyati
telah menyebutkan banyak contoh penggunaan cara ini oleh beberapa hakim
untuk membuka kebenaran, yaitu dengan firasat dan tanda-tanda. (Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 27. Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/66).
Al-Qur’an telah memberitakan tentang kejadian lain ketika
Nabiyullah Sulaiman menyelisihi bapaknya Dawud Alaihis Salam dalam
masalah hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya, “Dan
(ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya dan adalah Kami menyaksikan keputusan
yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian
kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada
masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu …” (Al-Anbiya: 78-79).
Nafsyu adalah melepas kambing di malam hari, sedangkan di siang hari disebut hamlu.
Inti kisah ini adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama tafsir, bahwa
kambing kambing milik seseorang masuk ke kebun orang lain di waktu
malam, dan ia memakannya sampai habis.
Maka keduanya berhakim kepada Dawud. Dawud memutuskan bahwa
kambing-kambing harus diserahkan kepada pemilik kebun sebagai ganti
rugi kebun yang dimakan habis oleh kambing-kambing itu. Ketika dua
orang yang berselisih ini melewati Sulaiman setelah keduanya keluar dari
majlis pengadilan, Sulaiman tidak sependapat dengan hukum yang telah
ditetapkan. Ketika Dawud bertanya tentang keputusannya dalam perkara
ini, Sulaiman menyatakan kepadanya agar kambing-kambing itu diserahkan
kepada pemilik kebun untuk diambil susunya, bulunya dan anak-anaknya
sesuai dengan hasil kebun yang musnah dilahap oleh kambing-kambing itu.
Sementara pemilik kambing diserahi tanah, dia yang mengolahnya hingga
kebun itu kembali seperti sedia kala sebelum dimakan oleh
kambing-kambing itu. Jika kebun telah kembali seperti semula, maka ia
dikembalikan kepada pemiliknya dan dia boleh meminta kambing-kambingnya.
Inilah ringkasan dan perkataan para imam tafsir tentang penafsiran
peristiwa yang terjadi dan disinggung oleh ayat di atas. Di antara
mereka adalah Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.(Tafsir Ath-Thabari, 17/52. Tafsir Ibnu Katsir, 4/576).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Hafidz Ibnu
Asakir menyebutkan tentang biografi Sulaiman bin Dawud sebuah kisah yang
panjang dari Ibnu Abbas, yang intinya adalah bahwa ada seorang wanita
cantik pada masa Bani Israil. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di
kalangan mereka untuk berbuat mesum, tetapi wanita ini menolak mereka
semua. Mereka sepakat di antara mereka untuk membuat kesaksian palsu
atasnya. Maka mereka bersaksi di hadapan Dawud bahwa wanita itu telah
berbuat mesum dengan anjingnya yang telah ia latih untuk melakukan itu.
Dawud pun memerintahkan agar wanita itu dirajam. Sore hari itu Sulaiman
duduk di kelilingi para pembantunya. Dia mendramakannya. Dia duduk
sebagai hakim, lalu empat orang pembantunya berpakaian seperti empat
orang yang menuduh wanita itu dan seorang lagi berpakaian dengan
pakaian. Empat orang bersaksi atas wanita itu bahwa dia telah berbuat
mesum dengan anjingnya.
Sulaiman berkata, “Pisahkan mereka?” Sulaiman lalu bertanya
kepada yang pertama, “Apa warna anjing itu?” Dia menjawab, “Hitam.”
Maka dia dipinggirkan. Sulaiman memanggil orang kedua dan menanyakan
kepadanya warna anjing itu dan ia menjawab, “Merah.” Yang ketiga
mengatakan, “Kelabu.” Dan yang keempat mengatakan, “Putih.”Pada saat itu
Sulaiman memerintahkan agar mereka dibunuh.
Hal ini diceritakan kepada Dawud. Dia langsung memanggil
empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Dawud bertanya kepada
mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Jawaban mereka
berbeda-beda, maka Dawud memerintahkan agar mereka dibunuh. (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/578).
Versi Taurat
Kisah ini terdapat dalam poin (16-28) dalam Ishah ketiga dalam Safar Muluk, yang
pertama, nashnya: “Pada saat itu datanglah dua orang wanita pezina
kepada raja. Kedunya berdiri di hadapannya. Salah seorang wanita
berkata, ‘Wahai paduka, dengarkanlah. Aku dan wanita ini tinggal dalam
satu rumah. Di rumah itu aku melahirkan anakku. Tiga hari setelah itu
wanita ini juga melahirkan. Kami bersama. DI rumah kami tidak ada orang
asing selain kami berdua. Kami berdua di rumah. Lalu anak wanita ini
mati di waktu malam karena dia tidur di atasnya. Di tengah malam dia
bangkit dan mengambil anakku dari sisiku, sementara pada saat itu
hambamu ini sedang tidur. Lalu dia menaruh anaknya yang telah mati di
sisiku dan menaruh anakku di sisinya. Ketika aku bangun di pagi hari
untuk menyusui anakku, ternyata dia telah mati. Aku memperhatikannya di
pagi itu, ternyata dia bukanlah anak yang aku lahirkan.’ Wanita yang
lain menyahut, ‘TIdak mungkin. Anakkulah yang hidup dan anakmulah yang
mati.” Wanita pertama membantah, ‘Tidak. Anakmu mati dan anakku hidup.’
Keduanya berbantah-bantahan di hadapan raja.
Raja berkata, ‘Wanita ini mengatakan anaknya yang hidup dan
anakmu yang mati. Wanita itu mengatakan bukan, tetapi anakmu yang mati
dan anaknya yang hidup.’ Raja meneruskan, ‘Bawakan pedang untukku.’ Lalu
mereka menghadirkan pedang di hadapan raja. Raja berkata, ‘Belahlah
anak yang hidup ini menjadi dua. Separuh untuk wanita ini dan separuh
untuk wanita itu.’ Maka wanita yang anaknya hidup berbicara kepada raja
karena dadanya bergolak terhadap anaknya. Dia berkata, ‘Dengarkanlah
wahai paduka raja, serahkanlah anak ini kepadanya, jangan dia dibunuh.’
Wanita yang lain berkata, ‘Dia bukan untukmu dan untukku, belahlah dia.’
Raja berkata, ‘Berikan anak yang hidup ini kepadanya. Jangan bunuh ia
karena dia adalah ibunya.’ Ketika seluruh Bani Israil mengetahui
keputusan yang dikeluarkan oleh raja, mereka takut kepadanya karena
mereka melihat hikmah Allah padanya dalam mengambil keputusan.”
Komentar Kita terhadap Versi Taurat
Terdapat kemiripan yang jelas antara versi Taurat dengan
kisah di dalam hadis. Hanya saja kisah di dalam Taurat telah tersentuh
oleh penyelewengan. Anak itu tidak mati karena ibunya menindihnya di
waktu malam, akan tetapi dia mati karena dibawa kabur oleh serigala, dan
kelihatannya kedua wanita ini berada di luar desa yang jauh dari
penduduk, karena serigala tidak mencuri anak-anak dari rumah-rumah.
Perkara kedua yang diselewengkan adalah klaim Taurat bahwa
kisah ini terjadi pada masa raja Sulaiman, setelah wafatnya Dawud. Yang
benar adalah bahwa kisah ini terjadi pada zaman Dawud. Dawud telah
memberikan keputusannya terlebih dahulu, lalu Sulaiman menyelisihi
hukumnya sebagaimana telah dijelaskan.
Yang benar adalah bahwa Sulaiman meminta pisau, bukan
pedang sebagaimana disebutkan oleh Taurat. Dan pisau adalah alat yang
cocok untuk membelah anak kecil menjadi dua, bukan pedang.
Di antara koreksi hadis terhadap Taurat adalah bahwa
Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu sendiri, karena dia belum
menjadi raja pada waktu itu. Padahal, Taurat menyatakan bahwa dia
memerintahkan prajuritnya agar membelahnya dengan pedang, karena pada
waktu dia memutuskan perkara ini dia adalah seorang raja. Dan kalian
telah mengetahui kesalahan pendapat ini.
Tidak mungkin kedua wanita itu adalah wanita pezina seperti
yang tertulis di dalam Taurat. Buktinya adalah ungkapan ibu anak itu
yang menunjukkan kebaikan dan ketaqwaan. Dia berkata kepada Nabiyullah
Sulaiman ketika dia hendak membelahnya, “Jangan lakukan itu, semoga
Allah merahmatimu. Dia anaknya.”
Jika keduanya adalah wanita pezina, apakah Nabiyullah Dawud
dan Sulaiman membiarkan keduanya bebas atas perbuatan keduanya? Apakah
dia tidak memerintahkan agar keduanya dirajam sebagaimana dia
memerintahkan merajam seorang wanita ketika terjadi persekongkolan
kesaksian palsu terhadapnya bahwa dia telah berzina?
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
- Keutamaan Nabi Sulaiman dan keterangan tentang apa yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menggali hukum yang benar dalam perkara-perkara sulit yang terjadi pada masanya. Dan dalam hadits shahih disebutkan bahwa Sulaiman berdoa kepada Allah agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, maka dia diberi.
- Hakim atau pengadil boleh menampakkan kepada orang yang bertikai suatu perbuatan yang (sebenarnya) dia tidak ingin melaksanakannya, sebagaimana Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu menjadi dua, padahal sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Nasai telah membuat judul untuk hadis ini, “Keluasan bagi Hakim untuk berkata kepada sesuatu yang tidak dilakukannya, ‘Lakukanlah’,” agar terungkap kebenaran. (Sunan Nasai, 8/236).
- Dengan berdalil kepada hadis ini Nasa’I membolehkan seorang Hakim membatalkan keputusan hakim lain, walaupun dia sama dengannya dalam hal ilmu atau lebih afdhal darinya. Ini mungkin kurang tepat, karena Sulaiman tidak memutuskan dan menetapkan. Dia hanya mengembalikan urusan kepada Dawud, lalu Dawud membatalkan keputusannya sendiri karena masukan dari Sulaiman. Wallahu A’lam.
- Berdalil dengan faktor pendukung dan tanda-tanda untuk mengetahui kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan adalah sesuatu yang dianjurkan pada saat tidak adanya dalil.
- Kisah ini menunjukkan bahwa hakim yang alim diberi pahala, baik dia benar atau salah. Allah telah menetapkan bahwa Sulaimanlah yang mengerti rahasia keputusan hukum, walaupun demikian Allah tetap memuji Dawud dan Sulaiman, dan tidak mencela Dawud karena dia salah dalam mengambil keputusan, “Maka Kami telah memberkan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Al-Anbiya: 79). Dan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah secara jelas menyatakan bahwa hakim yang benar keputusannya akan mendapatkan dua pahala. Adapun yang salah, maka cukup satu.
- Para nabi memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada mereka dengan ijtihad mereka. Oleh karena itu, hukum Dawud dan Sulaiman berbeda. Jika mereka memutuskan dengan wahyu, niscaya mereka tidak berbeda. Oleh sebab itu, Nabi bias jadi memutuskan tidak kepada pemilik hak sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadis shahih.
- Kecerdikan dan pemahaman tidak berhubungan dengan umur. Si kecil bisa jadi mengerti dan mengetahui apa yang tidak diketahui si besar, sebagaimana Sulaiman (si anak) mengerti apa yang tidak dimengerti oleh Dawud (si bapak). Abdullah bin Umar mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, sementara sahabat-sahabat besar tidak memahaminya, padahal di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar.
- Koreksi hadis terhadap penyimpangan Taurat menyangkut kisah ini.
Sumber: Buku “Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa”, DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Pustaka Yassir
0 komentar:
Posting Komentar