Selasa, 15 Mei 2012

HUKUM JENAZAH Bag 3


MENGKAFANI JENAZAH
     Diantara kewajiban orang hidup terhadap orang yang meninggal adalah mengkafaninya. Ibnu Qathan bekata : “Ulama sepakat wajib mayat itu dimandikan dan dikafani apabila ia telah balig selama ia tidak gugur sebagai syahid atau terbunuh secara dzolim atau meninggal dalam hokum qishos.”(Al  iqna  fi masa’il  Al  - ijma : 1 / 182)
Kewajiban mengkafani jenazah ini juga ditunjukan oleh hadist Ibnu Abbas tenteng seseorang yang sedang wuquf di Arafa lalu jatuh dari kenderaannya dan meninggal , maka Rasulullah bersabda kepada para sahabat :
اغسلوه  بماء  و سدر  و كفّنوه  في  ثوبين  (  متفق عليه  )                                              
“Mandikanlah dia dengan air dan daun sidr, dan kafanilah dia dengan dua baju.”(Muttafaqun ‘alaih)

Al Imam An Nawawi  tatkala menjelaskan hadist Aisyah yang mengatakan :
 كفّن رسول الله في ثلاثة  اثواب بيض  سحواية من كرسف ليس فييها قميص ولا عمامة ( مثفق عليه )                                
“Rasulullah dikafani dengan tiga baju putih (yang terbuat dari kapas ) beliau tidak memakai(tidak ada padanya) baju dan imamah.”(mattafaqun ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: ” pada hadist ini dan hadist Mush’ab bin Umair yang terdahulu serta selain keduanya menunjukan tentang wajibnya mengkafani  jenazah dan ini adalah kesepakatan kaum muslimin .”(Al minhaj syarh shohih Muslim  4 / 256)
   Dari beberapa hadist dan keterangan para ulama yang tidak dapat saya nukilkan semuanya disini telah menunjukan kepada kita bahwa HUKUM MENGKAFANI JENAZAH ADALAH WAJIB , AKAN TETAPI KEWAJIBANNYA ADALAH BERSIFAT KIFAYAH.(lihat shohih fiqih sunnah 1/969, Abu Malik Kamal Bin As sayyid salim). Adapun biaya kafan tersebut diambil dari harta pokok si mayyit apabila dia tidak mempunyai harta maka diambil dari orang yang mempunyai kewajiban menafkahinya, jika tidak ada maka diambil dari harta baitul maal, jika tidak ada juga maka ini menjadi kewajiban kaum muslimin agar imam mengambil harta dari orang-orang yang mampu ataupun orang yang menyaksikan kematiannya.(Al minhaj syarh Muslim 4/256, sohih fiqih sunnah 1/971 oleh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim)
Ibrahim An Nakh’I berkata : “Yang terlebih dahulu disisihkan dari harta si mayyit sebelum dibagikan kepada ahli waris adalah keperluan kafannya, kemudian keperluan membayar hutang-hutangnya, kemudian penunaian wasiatnya” ( Al fath 4/232 ). Sufyan Ats Saury berkata : “Ongkos penggalian kubur dan biaya memandikan sama dengan hokum kafan yakni diambil dari harta pokok si mayyit”(Al  fath 4/232).
Sepantasnya kafan yang dipakai untuk menutupi mayyit tersebut panjang dan lebar sehingga dapat menutupi tubuhnya, hal ini berdasarkan hadist Rasulullah :
اذا  كفن  احدكم  اخاه  فليحسن  كفنه  ( رواه مسلم )                                                                               
    “Apabila salah seorang dari kalian mengkafani saudaranya, maka perbaguslah kain kafannya tersebut.”(Hr Muslim)
Catatn :
1.       Membaguskan kain kafan pada hadist ini bukanlah berarti kafan tersebut mahal harganya.
2.         Membaguskan kain kafan juga bukan berarti kafan tersebut dari  bahan yang mewah, kedua hal ini ditunjukan oleh hadist dari Ali bin Abi Tholib ia berkata aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
لا تغالوا فى الكفن فإنه يسلب سلبا سريعا ( رواه ابو داود )                                                                      
-          “Janganlah kalian bermahal – mahal dalam kafan karena sesungguhnya yg demikian itu akan cepat rusak.”(Hr Abu Daud)
Meskipun hadist ini dhoif karena dalam sanadnya (nara sumber)ada perawi yang bernama “Amr bin Hisyam Abu Malik Al janini”, akan tetapi maknanya benar sebagaimana yang dipahami oleh Abu bakar as shidiq tatkala beliau berkata kepada Aisyah: “Sesungguhnya orang yang masih hidup lebih pantas memakai kain yang baru” (Raudlatun Nadiyah ta’liqat ar radhiyyah).
-          Membaguskan kafan diatas juga bukan berarti memperbanyak jumlah lilitan (lapisan) kafan karena kafan ini telah dianggap mencukupi apabila mampu menutupi seluruh tubuh si mayit meskipun hanya selembar kain sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadist-hadist yang shohih (lihat Al fath dan Ahkamul janaiz oleh Syaik Albani, lihat Syarhus sunnah 5/314).
B.  Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan kain kafan
Setelah kita mengetahui hukum mengkafani jenazah dan kewajiban pada kain tersebut maka perlu untuk kita mengetahui juga beberapa hal yang disunnahkan yang berkaitan dengan kain kafan yakni diantaranya:
1.       Hendaklah kain kafan tersebut berwarna putih berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
البسوا من ثيابكم البياض فإنها من خير ثيابكم . وكفّنوا فيها موتاكم ( رواه ابو داود، الترمذى ، و غيرهما )
“Pakailah pakaian kalian yg putih karena yg demikian itu adalah sebai – baik pakaian kalian, dan kafanilah jenazah kalian dengannya.”(Hr Abu Daud, Tirmizdi, dan selain keduanya)
2.       Hendaklah kain kafan tersebut dari tiga lembar (helai), hal ini ditunjukkan oleh hadist Aisyah:
كفّن رسول الله صلى الله عليه وسلّم فى ثلاثة اثواب بيض سهوليحولية من كرسف وليس فيها قميص ولا عمامة  ( متّفق عليه)
“Rasulullah dikafani dengan tiga baju putih (yang dari Yaman) terbuat dari kafan dan telah ada padanya jubah dan tidak ada padanya imamah”.
Peringatan:
Berdasarkan hadist Aisyah ini dapat kita pahami bahwa tidak boleh menambahkan kafan lebih dari tiga lembar, karena hal ini menyelisihi apa yang dilakukan Rasulullah dan juga perbuatan demikian itu berar ti membuang-buang harta sementara kita dilarang melakukan hal yang demikian itu. (lihat Ar Raudlatun Nadhiyah ta’ligat Ar radiyyah 1/85).
Memang dalam perkara ini terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki dan wanita. Sebagian par ulama mengatakan bahwa kain wanita sama dengan jumlah kain laki-laki yakni tiga lembar, karena lelaki dan wanita asalnya adalah sama dalam persoalan hukum kecuali ada dalil yang datang untuk membedakannya (lihat Asy Syarhul mumti’) dan dalam hal ini tidak ada satupun hadist yang shohih yang membedakan antara jumlah kain kafan bagi lelaki dan wanita dan hal ini yang dipilih oleh syaikh Al Bani dalam Ahkamul janaiz, berhubung karena beliau (syaikh Al Bani) menilai hadist laila binti Qois At tsaqafiyah tentang pengkafanan salah seorang putrid nabi dengan lima kain kafan dan hadist semisalnya adalah dhoif (lihat Ad dloifah hal 752-754).
Namun dalam hal ini kebanyakan ahlul ilmi menyenangi agar seorang wanita dikafani dengan lima kain kafan tidak lebih, bilamana dibutuhkan untuk lebih menutupi tubuhnya sebagaimana dikatakan Ibnu Mundzir “(mayoritas ahlul ilmi yang kami hafal dari mereka berpandangan bahwa wanita dikafani dengan lima lembar kain kafan. Hal ini disenangi karena wanita semasa hidupnya harus ekstra dalm menutupi tubuhnya dari pada lelaki karena auratnya yang lebih dari lelaki)”. Lima kain tersebut berupa sarung yang disarungkan kebagian aurat dan sekitarnya (dari pusat kebawah), dira’ (baju panjang (jubah) yang dipakaikan ke tubuhnya, ker udung (sebagaimana kerudung orang hidup) dan dua kain yang diselimutkan keseluruh tubuhnya sebagaimana mayat lelaki. (lihat Al Mughni 2/173 dan pendapat ini dipilih oleh syaikh Fauzan).
Catatan:
o   Adapun jika yang meninggal adlah anak kecil maka cukup dikafani dengan selembar kain, namun tidak apa-apa bila dikfani dengan 3 lembar kain, demikianlah yang dikatakan Ishak bin Rahawaih, said bin Musayyab, At tsaury dan selain mereka (Al mughni 2/171). Dalam hal ini lelaki dan wanita sama (Al mushannaf 3/263-264 oleh Ibnu abi syaibah).
-          Jika yg wafat adalah seorang yg gugur dimedan perang , maka dia dikafani dengan pakaian yg dia kenakan tatkala terbunuh . Hal ini dikatakan oleh Abdullah bin sta’labah bin shofar bahwa Rasulullah bersabda pada waktu perang uhud:
زمّلو هم   فى  ثيابهم                                          
“Selimutilah mereka dengan pakaian yg mereka kenakan.”

-          Para ulama sepakat bahwa orang yg mati syahid dikafani dengan pakaian yg dia kenakan saat dia terbunuh’ dan kebanyakan mereka berkata “Adapun pakaian yg tidak dikategorikan kain biasa, seperti kulit, besi, dan lainnya, maka harus dilepas”(lihat Al Mughni 2/531).
-          Jika kain kafan terlalu kecil dan tidak dapat menutupi seluruh tubuh seperti yg tersebut dalam hadist Khabab bahwa Mus’ab bin Umair terbunuh pada perang uhud, lalu kami tidak mendapati kain kafan, kecuali kain kecil  yg  apabila kami menutup kepalanya , maka kakinya akan kelihatan, jika kami menutupi kakinya maka kepalanya akan kelihatan. Melihat hal tersebut maka Nabi memerintahkan untuk menutupi kepalanya saja dan kaki yg kelihatan ditutupi dengan izdkir ( Hr Bukhari : 1276, Muslim : 940 )
Dari keterangan hadist ini diambil kesimpulan bahwa jika tidak ada kain yg mencukupi untuk menutupi seluruh tubuh mayyit, maka bisa diganti dengan izdkir, jika izdkir juga tidak ada , maka bisa memakai apa saja dari tumbuh-tumbuhan dibumi ini yg dapat menutupi tubuh mayyit tersebut.(lihat fathul baari 3/142).


0 komentar:

Posting Komentar